Global.com, Jakarta — Sikap DPR RI dan Pemerintah yang mensahkan revisi kedua UU ITE atau UU No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik pada tanggal 6 Desember 2023 lalu, terus menuai kritikan.
Apalagi dengan disetujuinya revisi kedua UU ITE tersebut berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat.
Terkait hal tersebut, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu turut melontarkan kritikan dengan mengatakan revisi kedua UU ITE tersebut tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap pasal-pasal yang selama ini menjadi ancaman dalam kemerdekaan pers.
Salah satunya mengenai Pasal 27A mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang mengandung tuduhan atau fitnah dan/atau pencemaran nama baik.
Oleh karena itu, Dewan Pers mengajak kepada masyarakat dan seluruh komunitas pers untuk bergerak dalam mengkritisi dan mengambil sikap terhadap revisi kedua UU ITE tersebut.
Ketua Umum PP IWO Yudhistira secara tegas mendukung sikap Dewan Pers dan meminta seluruh elemen dan komunitas pers di tanah air satu suara untuk membuat langkah strategis agar UU ITE itu tidak menjadi alat untuk mengkriminalisasi pers dan mengancam kemerdekaan pers.
“Tidak perlu dilakukan revisi terhadap UU ITE jika hasilnya tak jauh berbeda. Kesannya pemerintah hanya menghamburkan uang negara untuk membuat sebuah jebakan betmen bagi pers,” tegasnya di Jakarta, Jumat (15/12/2023).
Menurut Yudis, idealnya revisi kedua UU ITE itu bisa senafas dengan kebebasan pers yang terikat dengan UU Pers No 40 tahun 1999.
“Permasalahan UU ini yang sepertinya sampai sekarang belum terpecahkan. Karena di saat seorang pers bekerja di bawah perlindungan UU Pers, tapi di sisi lain ada UU ITE yang tiap saat mengintai dan menjadi ancaman,” sesalnya.
Padahal, lanjut Yudis, jika pemerintah memang berniat menjalankan amanat reformasi yang melahirkan UU Pers, jangan benturkan segala aturan terkait pers dengan hukum formil yang ada di dalam UU ITE atau pun KUHPidana.
Yudis juga berharap pemerintah lebih bijak dalam menyikapi persoalan pers yang merupakan pilar ke empat demokrasi.
“Jangan sebaliknya, justru membuat berbagai celah di dalam revisi UU ITE yang kerap dicap mengdepankan pasal karet yang kerap mengedepankan like or dislike jika akan menjerat seorang jurnalis ke dalam ranah pidana,” sebutnya.
Yudis juga berasumsi seolah ada pemufakatan jahat antara oknum tertentu lewat revisi UU ITE ini, dengan tujuan agar mereka bisa mendapat imunitas atas setiap kritik lewat pemberitaan.
“Ingat, pers hadir bukan untuk mengelus-elus penguasa, sebagai profesi yang independent, pers punya hak untuk menyuarakan setiap keresahan rakyat atas apa prilaku penguasa. Dan ingat sekali lagi, ada UU Pers yang mengatur setiap kerja jurnalis,” tandasnya.
Sebelumnya, Ninik Rahayu lewat rilis resmi Dewan Pers mengungkapkan bahwa ancaman lainnya terdapat pada Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang mengancam pelaku penyebaran berita bohong dan SARA yang dapat menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan.
“Setiap orang yang melanggar pasal tersebut dapat dihukum penjara enam tahun dan denda Rp. 1 miliar,” ungkapnya.
Menurutnya, pasal-pasal dalam revisi kedua mengenai penyebaran kebencian dan penghinaan, mengingatkan pada haatzaai artikelen dalam KUHP yang mengandung ancaman sanksi pidana bagi yang menyatakan perasaan, penghinaan, kebencian dan permusuhan kepada pemerintah atau negara.
“Dengan dikuatkan KUHP baru, maka pasal karet produk kolonial menjadi suatu produk hukum nasional yang sebenarnya sudah tidak diberlakukan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi,” terangnya.
Dapat dilihat dalam revisi kedua UU ITE pada pasal 27A, 27B dan pasal 28 ayat (1) bahwa dapat berpotensi mengebiri pers sebagai karya jurnalistik dalam mendistribusikan informasi elektronik menggunakan internet terkait kasus-kasus korupsi, manipulasi dan sengketa.
“Dengan ancaman hukuman penjara enam tahun, dan kepolisian dapat menahan setiap orang selama 120 hari termasuk wartawan atas tuduhan penyebaran berita bohong,” tuturnya.
Hal tersebut, bisa secara tidak langsung disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk membungkam pers dan menciderai terwujudnya negara demokrasi.
Dalam hal ini, Dewan Pers menilai pasal yang terdapat dalam UU ITE tidak dapat digunakan terhadap produk pers dalam karya jurnalistik yang sudah sangat tegas dan jelas diatur dalam UU No. 40 tahun 1999.
“Implementasi UU ITE sudah diatur dalam Pedoman Implementasi UU ITE No. 229 tahun 2021 dalam Keputusan Bersama Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri,” ucapnya.
Dalam pedoman tersebut menegaskan bahwa untuk pemberitaan di internet yang dilakukan perusahaan pers diatur dalam UU Pers, dan diberlakukan mekanisme sesuai UU Pers sebagai Lex Spesialis, bukan UU ITE.
“Permasalahan terkait pers, perlu melibatkan peranan Dewan Pers,” tegasnya.
Tantangan berat pers kedepannya, di dalam pedoman No. 229 Tahun 2021 tersebut justru akan membuka celah penafsiran yang dapat membelenggu kemerdekaan pers.
Sehingga Dewan Pers, menilai legislasi revisi kedua UU ITE tidak transparan dan terbuka dalam melibatkan partisipasi publik secara luas.
“Hal ini kita menunjukan ketidakseriusan eksekutif dan legislatif untuk menjalankan UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah dirubah menjadi UU No. 13 tahun 2022. Bahkan naskah dari revisi kedua UU ITE yang telah disahkan DPR RI dan pemerintah juga sulit didapatkan,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan