Global.com, Makassar — Bulukumba, sebuah nama yang mengandung sejarah dan mitos yang kaya, kini menjadi sebuah kabupaten yang berdiri kokoh di Provinsi Sulawesi Selatan. Mitos penamaan “Bulukumba” memiliki akar dalam perang saudara abad ke-17 antara dua kerajaan Sulawesi yang besar, Gowa dan Bone.
Dalam cerita itu, pertemuan antara utusan Raja Gowa dan Raja Bone di Tanahkongkong, pesisir pantai, menjadi tonggak damai yang menetapkan batas wilayah masing-masing kerajaan. Namun, sengketa wilayah Bangkeng Buki menciptakan frasa dalam bahasa Bugis, “Bulukumupa”, yang kemudian berubah menjadi “Bulukumba” dalam dialek tertentu. Nama itu bertahan hingga hari ini, menjadi lambang sebuah kabupaten.
Pembentukan resmi Kabupaten Bulukumba dimulai pada 4 Februari 1960, setelah terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi. Proses peresmian melibatkan seminar dan konsultasi dengan pakar sejarah dan budaya, hingga akhirnya ditetapkan hari jadi resmi Kabupaten Bulukumba.
Masyarakat Bulukumba dikenal dengan semangat persatuan dan keselamatan bersama, tercermin dalam ungkapan “Mali’ siparappe, Tallang sipahua”, mencerminkan perpaduan dua dialek bahasa Bugis-Makassar. Semangat ini tercermin pula dalam slogan pembangunan “Bulukumba Berlayar”, yang mencerminkan kesadaran akan kebersihan lingkungan alam.
Kabupaten Bulukumba juga kaya akan warisan budaya, dengan 14 Cagar Budaya dan 4 Warisan Budaya Tak Benda yang diakui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bahasa daerah juga menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas provinsi Sulawesi Selatan.
Dengan sejarah yang kaya, nilai-nilai persatuan, dan kekayaan budaya, Bulukumba terus melangkah maju dalam pembangunan, menjadikan “Bulukumba Berlayar” bukan hanya slogan, tetapi juga visi yang menginspirasi bagi kemajuan daerah ini.(*)
Tinggalkan Balasan