Sidrap, Global.com — Sabtu sore, 19 Oktober 2024, langit Sidrap berubah wajah. Dari biru jadi kelabu. Dari kelabu, mendung pekat.
Suara gemuruh terdengar dari jauh. Ada yang datang, tidak diundang, tapi selalu membuat orang terperangah. Angin puting beliung.
Tak tanggung-tanggung, angin liar itu mengamuk di beberapa tempat. Padangloang, Dua Pitue, Kampung Baru Empagae, hingga Pajalele Watang Sidenreng.
Satu demi satu dilibas. Seperti jarum jahit yang menari di atas kain persawahan.
Tapi kali ini, angin itu tak menggoyang rumah, tak merobohkan tiang listrik, dan tak membuat orang menangis kehilangan atap. Ia hanya lewat di atas hamparan sawah yang masih sunyi.
“Untungnya cuma di sawah. Padi masih kuat, angin meliuk-liuk cuma disana saja,” kata Mansyur, seorang petani yang duduk di teras rumahnya.
Meski tak menyerang pemukiman, warga tetap waspada. Angin seperti ini bisa berpindah.
“Dia tak punya alamat, suka berpindah. Kita yang harus waspada,” kata Halim, warga Kampung Baru Empagae. Ia berdiri, matanya menatap langit, lalu persawahan.
Lalu, angin itu pergi. Hening kembali. Persawahan di Sidrap bagai padang kosong yang baru saja dihajar gajah, tapi masih berdiri, berjuang untuk tetap hijau.
“Untungnya cuma sawah, rumah-rumah aman. Kita tetap bersyukur,” kata Siti Aminah, sambil membereskan jemurannya yang sempat terbawa angin.
Begitulah. Angin datang tak pernah memberi tahu. Tapi di Sidrap sore itu, ia datang dan pergi seperti tamu tak diundang yang lewat dengan sopan di pekarangan rumah.(*)
Tinggalkan Balasan