Sidrap, Global.com – Desa Sipudeceng, sebuah sudut kecil di Sidrap, Sulawesi Selatan, menjadi saksi bisu harapan dan kehadiran dalam kesunyian.
Jumat sore itu, langit mendung seperti hati yang penuh beban.
Waktu menjelang pukul empat, dan sepi yang tenang dipecah oleh langkah-langkah tegas para personel Sat Reskrim Polres Sidrap.
Dipimpin oleh AKP Agung Rama Setiawan, mereka datang bukan dengan senjata atau surat penangkapan, tetapi membawa harapan dalam bentuk sembako.
Di antara dua puluh keluarga yang mereka sambangi, satu wajah mengundang perhatian: seorang nenek tua.
Umurnya mungkin sudah mencapai seratus tahun, mungkin lebih.
Rambutnya putih seperti kapas yang diterbangkan angin, dan tubuhnya yang kurus seolah menanggung seluruh beban dunia.
Nenek itu lumpuh, terbaring lemah di atas tikar usang. Satu ruangan kecil tanpa jendela menjadi dunianya, sunyi dan penuh kenangan.
Ketika langkah-langkah mendekat, nenek itu mengangkat kepalanya yang lemah.
Kasat Agung berjongkok di sampingnya, menggenggam tangan nenek yang keriput.
Sebuah genggaman yang lebih berarti dari sekadar sentuhan fisik, seperti janji yang menghangatkan hati: Kami di sini untukmu.
Senyum tipis muncul di wajah nenek, tetapi di matanya, ada lautan cerita.
Cerita tentang seribu tahun lelah, seribu tahun sabar.
Setiap kerutan di wajahnya adalah gambaran hari-hari sulit yang dilaluinya.
Tentang nasi yang tak selalu ada dan malam-malam dingin yang terlalu panjang.
Malam itu, bukan beras yang menjadi penyelamat, bukan minyak goreng yang menghapus air mata.
Tetapi kehadiran mereka, personel Sat Reskrim, yang memberikan secercah harapan.
Di saat-saat sunyi, ketika dunia seakan melupakan keberadaannya, nenek merasa tidak sendirian.
Ada rasa syukur yang tak terkatakan, kelegaan yang hanya bisa dibaca dari tatapan lembut.
Di luar, awan masih menggantung rendah, menandakan suasana hati yang kelam.
Para personel Sat Reskrim melanjutkan perjalanan mereka, mengunjungi keluarga lain yang juga membutuhkan perhatian.
Namun, di dalam rumah kecil itu, kehadiran mereka meninggalkan kedamaian yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Jumat Berkah bukan sekadar memberi, tetapi mengingatkan kita bahwa terkadang, kehadiran adalah berkah terbesar.
Saat matahari tenggelam perlahan, senyum nenek, senyum di balik seribu tahun kisah, akan selalu terpatri di dalam hati mereka yang pernah datang.
Dalam kesunyian desa Sipudeceng, harapan berlanjut meski waktu berlalu.
Jumat itu, akan dikenang bukan hanya sebagai hari pembagian sembako, tetapi sebagai hari di mana kasih dan perhatian menyatu dalam satu genggaman tangan.(*)
Tinggalkan Balasan